Melki Laka Lena Apresiasi Penerbitan Buku Katolik di Tanah Santri Karya Deni Iskandar

Jakarta, MITC – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena mengapresiasi penerbitan buku “Katolik di Tanah Santri” yang ditulis oleh Deni Iskandar, aktivis HMI, lulusan UIN Jakarta dan anak Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam buku ini juga berisi catatan atau sambutan dari Kardinal Ignatius Suharyo dan kata pengantar dari Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena.

Menurut Politisi Golkar yang akrab disapa Melki Laka Lena ini, sebagai penulis, Deni Iskandar telah berhasil terlibat dalam dinamika keberagaman di ‘rumah’-nya sendiri, Pandeglang – Banten. Deni, lanjut Melki, tentu mendapat privilege dan berada dalam ruang nyaman dalam kehidupan sosial bermasyarakat di Pandeglang karena berasal dari kelompok mayoritas namun sebagai seorang mahasiswa, Deni telah berhasil menerobos ruang dialog untuk membaca dan, terlebih, berdinamika dengan kenyataan terkait keberagaman di masyarakat, di ruang dimana dia tumbuh dengan privilege itu.

“Tentunya, keberhasilan dalam keterlibatan dalam dinamika sosial dan menuangkannya dalam sebuah buku ini, perlu diapresiasi,” jelas Melki, Rabu 4/5/2022.

Membaca Buku “Katolik di Tanah Santri” yang ditulis oleh Deni Iskandar, menurut Melki, akan mengingatkan kita akan eksistensi keberagaman bahkan di sebuah komunitas yang dianggap homogen.

“Secara umum, Provinsi Banten selalu menerima stereotype sebagai provinsi yang homogen. Buku ini membantu kita memahami Provinsi Banten dengan kacamata yang berbeda. Dalam konteks yang lebih luas, keberagaman di Indonesia adalah sesuatu yang memang ada. Jika seseorang mengatakan Indonesia adalah negara yang sangat beragam, itu adalah kenyataan. Oleh karena itu, keberagaman adalah sesuatu yang harus dirayakan, bukan dihindari,” ungkap Ketua Golkar NTT ini.

Melki Laka Lena juga berharap, agar buku ini terus mengingatkan kita akan keberagaman yang patut dirayakan.

“Sama seperti masyarakat Labuan yang hidup berdampingan, keberagaman layaknya dirayakan tanpa kehilangan identitas. Karena keberagaman tidak pernah ada tanpa identitas yang otentik. Keberagaman tidak menghilangkan identitas. Dia ada dengan identitas yang unik, namun terbuka untuk terus berjumpa dan berdialog dengan sesama,” tutup Melki.

Sementara penulis buku, Deni Iskandar, saat dihubungi via pesan whatsapp, Rabu, 4/5/2022, mengatakan buku berjudul “Katholik di Tanah Santri” ini ditulis berdasarkan hasil penelitian saat ia menempuh pendidikan S-1 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Fakultas Ushuluddin pada Prodi Perbandingan Agama/Studi Agama-Agama, Sekarang. Deni menjelaskan dalam buku “Katholik di Tanah Santri” ini, Ia secara umum menulis kehidupan umat beragama di Labuan, dan di fokuskan pada potret kehidupan umat Katholik.

“Pertimbangan saya mengangkat tema Katolik, itu karena, kehadiran umat Katolik di Labuan, Kabupaten Pandeglang ini unik. Secara populasi penduduk, jumlah pemeluk agama Katolik di Labuan tahun 2019 berdasarkan data stasi, itu secara keseluruhan berjumlah sebanyak 105 orang, dengan jumlah total KK 44 Kepala Keluarga,” sebut Deni Iskandar.

Meski demikian, sebutnya, sekalipun umat Katolik ini sedikit di Labuan, tapi tidak membuat umat Katolik ini, tidak eksis. Ada banyak karya nyata yang diberikan umat Katolik di Labuan ini, salah satunya dibidang pendidikan yaitu berdirinya lembaga Pendidikan, bernama Yayasan Mardiyuana milik keuskupan Sufragan Bogor ini.

“Ini adalah satu karya nyata umat Katolik di Labuan dan Yayasan ini berdiri sejak Tahun 1959. Meskipun Yayasan Mardiyuana, sekolah Katolik itu milik Keuskupan Sufragan Bogor, namun yang sekolah disana itu, justru kebanyakan adalah umat Islam setempat. Dan kehadiran lembaga pendidikan itu sangat bermanfaat dan maslahat sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” Ungkap Deni.

Ia juga mengungkapan alasan memilih judul buku ini, Katolik di Tanah Santri, didasarkan pada jejak historis. Menurutnya, titik awal penyebaran Islam di Pandeglang ini, muara awalnya dimulai di daerah Labuan-Caringin. Pada tahun 1881 sebelum Gunung Krakatau meletus, itu Islam sudah ada. Pasca meletusnya Gunung Krakatau, tahun 1883 Islam juga semakin berkembang. Adapun Tokoh-Tokoh Islam pada saat itu diantaranya, Syekh Tubagus Muhamad Asnawi, Syekh Muhammad Ilyas Abdul Muqri (Abuya Muqri) dan KH. Syama’un, ketiga tokoh ini, menyebarkan ajaran Islam itu melalui pendekatan Tarekat, dan nama Tarekat yang disebarkannya itu adalah, Tarekat Qodariyah Wa Naqsabandiyah. Puncak Keberhasilan umat Islam itu adalah pada saat melawan Penjajahan Belanda, pada tahun 1926. Itu adalah gerakan Tarekat, apabila yang terjadi di Labuan. Oleh karena itulah, nama Labuan ini diberi nama Tanah Santri.

“Nah, uniknya, di Labuan ini meskipun kota Santri, namun justru di dalamnya ada semua pemeluk agama, salah satunya pemeluk Agama Katolik. Dan kehadiran Umat Katolik di Labuan ini, sepanjang sejarahnya, tidak pernah diganggu, bahkan pada saat adanya peristiwa Cap Gedor Tahun 1965 dan 1998, masyarakat Labuan ini justru bahu membahu saling melindungi, terutama sikap masyarakat Labuan terhadap pendatang, yang itu beragama di luar Islam,” kisahnya.

Dikatakan Deni, umat Katolik di Labuan ini, semuanya adalah Pendatang. Tapi meskipun kondisinya demikian, kehadiran umat Katolik di Labuan, yang notabenenya sebagai Kota Santri, itu diterima oleh masyarakat Setempat.

Deni juga mengungkapkan beberapa alasan lain membuat dirinya tertarik tertarik meneliti umat Katholik di Labuan Kabupaten Pandeglang ini, yaitu, Pertama, hadirnya Yayasan Mardiyuana milik Keuskupan Sufragan Bogor yang murni dijadikan sebagai lembaga pendidikan, tanpa ada embel-embel lainnya.

“Kehadiran Yayasan Mardiyuana sebagai lembaga pendidikan itu, dinilai masyarakat setempat cukup membantu. Sebab secara faktual, Yayasan Mardiyuana sebagai lembaga pendidikan, dibuka untuk umum. Sehingga dengan begitu masyarakat setempat bisa menikmati kegiatan belajar mengajar di Yayasan tersebut. Bahlan dominasi murid maupun tenaga pengajar di Sekolah tersebut, lebih banyak di dominasi oleh pemeluk agama Islam,” jelasnya.

Kedua, menurut Deni, disebabkan karena keramahan umat Katholik yang digambarkan oleh Deni pada sosok Almarhumah Murti Asih, seorang perempuan Katholik dan Herman Joseph Marsandi, seorang tenaga pengajar di Yayasan Mardiyuana milik Keuskupan Sufragan Bogor.

“Semasa hidupnya, sosok Almarhumah ikut serta mendidik penulis, bahkan seorang Kepala Desa Labuan, Eka Arisandi Junjunan menyebut Murti Asih adalah sorang Ibu Kemanusiaan. Saat ini, Almarhumah dimakamkan di Paroki Rangkas, Kabupaten Lebak, tempat umat Katolik beribadah setiap 1 atau 2 Minggu sekali,” ungkap Deni.

Deni juga mengungkapkan bahwa semangat toleransi masyarakat Labuan, Pandeglang-Banten sangat tinggi.

“Kalau Bicara Toleransi mah, masyarakat Labuan mah melampaui toleransi. Siapa pun yang ngusik itu sekolahan Katolik berhadapannya sama masyarakat Labuan. Karena selama ini, kehadiran umat Katolik di Labuan itu diterima masyarakat setempat. Dan hadirnya Yayasan Mardiyuana itu sudah melahirkan banyak Alumni,” tutup Deni.(go)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.