MEMBACA POSISI HUKUM DI INDONESIA DALAM TERANG FILSAFAT PANTHA REI

Oleh : Nofri Dandi Nahak

Di Indonesia hukum itu serupa hantu bagi rakyat. Asumsi seperti ini lahir dari suatu model penalaran hukum yang hanya berpatok pada asas kesesuaian dengan hukum, sementara melalaikan asas keadilan hukum. Logika penerapan hukum yang selalu berlandaskan asas kesesuaian dengan hukum memang diperlukan demi menjamin adanya kepastian hukum (Rechtssicherheit), tetapi perlu dicurigai atau dikritisi, sebab kadang terjadi bahwa penerapan atas dasar kesesuaian dengan hukum memiliki tendensi merusak nilai keadilan.

Biar bagaimana pun juga ketika hukum itu ciptakan, hukum itu disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada mana hukum itu dibuat. Keadaan masyarakat selalu mengalami perubahan, dan pada titik terjauh hukum yang telah diciptakan itu mengalami distink antara situasi masyarakat dengan rasa keadilan karena perubahan itu. Kabar buruknya bahwa akibat adanya jarak antara hukum dan rasa keadilan, hukum itu kemudian kehilangan artinya sebagai hukum. Maka hukum itu tinggallah suatu hukum yang mati. Model hukum seperti itu tentunya tidak lagi menjamin nilai keadilan dalam kehidupan masyarakat. Dan kalau tidak lagi menjamin kebutuhan masyarakat maka hukum itu layak ditinggalkan. Sebab kita mengenal prinsip ius quia iustum, hukum karena adil.

Sampai disini, menjadi cukup penting untuk menempatkan posisi pemikiran filsafat Herakleitos tentang pantha rei, mengalir, sebagai fundamen dalam sistem berhukum. Hukum seharunya – dalam kosa kata Herakleitos – mengalir, pantha rei. Asumsi hukum harus “mengalir” medapat pusat refleksinya pada realitas kehidupan manusia itu sendiri yang selalu berubah. Karena hukum itu sendiri adalah bagian dari manusia, maka hukum juga harus mengalir atau berubah, disesuaikan dengan kebutuhan hidup manusia itu sendiri.

MODEL HUKUM DI INDONESIA

Paradigma berpikir kaum pencetus hukum (legislator) umumnya adalah selalu menekankan aspek kesesuaian pada hukum. Kesesuaian dengan hukum disini dimaksudkan untuk menjamin aspek kepastian hukum (Rechtssicherheit). Inilah yang menjadi konsekuensi logis dari prinsip hukun positif. Maka apabila kita berbicara tentang hukum, pertama-tama muncul dipikiran kita adalah hukum positif yang berlaku dalam sebuah negara. Artinya hukum itu itu disebut sebagai hukum bergantung pada apa yang sudah ditetapkan, ditentukan. Karena itu setiap tindakan manusia, yang baik maupun yang buruk ditentukan atau disesuaikan dengan ketentuan dari hukum itu.

Perlu diakui bahwa hukum posistif itu sangat perlu demi mencapai apa yang dinamakan kepastian hukum. Bertolak dari pemahaman posistivisme hukum, sejauh undang-undang ditetapkan menurut ketentuan yang berlaku, maka undang-undang itu berlaku secara sah/legitim, terlepas dari isinya, entah itu baik maupun jahat. Apakah sebuah norma itu berlaku sebagai hukum atau tidak ditentukan dari isisnya, melainkan dari apakah norma itu diperundangkan sesuai dengan prosedur hukum atau tidak. Akan tetapi disini kita mendapat kelemahannya. Karena kita perlu menyadari bahwa betapa pun adanya kepastian hukum dalam sebuah negara hukum, namun sebuah peraturan buatan manusia tidak boleh mengikat secara mutlak. Karena hukum positif buatan manusia itu tidak sempurna.  Demikian, menyetir ungkapan Rahardjo, “undang-undang itu sudah cacat sejak dilahirkan. Undang-undang itu adalah hasil rumusan manusia yang ketika itu dirumuskan para legislator tidak bebas dari pelbagai kepentingan diri atau kelompok atau pihak yang berkuasa saat itu.”

Logika berpikir yang hanya menekankan aspek kesesuaian dengan hukum ini patut dicurigai. Sebab yang terjadi bahwa prinsip ini melukai rasa keadilan. Hukum itu harus menjamin nilai keadilan. Hukum yang pada dasarnya memenjarakan atau membelenggu manusia harus ditinggalkan.

HUKUM HARUS MENGALIR

Asumsi hukum harus mengalir ini sebenarnya bertolak dari pemikiran Herakleitos, seorang filsuf Yunani kuno, yaitu dalam paham filsafatnya mengenai pantha rei. Mari kita sejenak mengenal filsfat Herlakleitos. Filsafat pantha rei-nya itu merupakan jawaban atas pertanyaan fundamental mengenai apa yang menjadi asas/prinsip atau arkhe dari realitas. Herakleitos menjawab bahwa yang menjadi dasar terdalam dari segala sesuatu adalah perubahan. Ia terkenal dengan doktrin legendarisnya,“hoti panta chorei kai ouden menei” (semuanya menjadi dan tidak ada sesuatupun yang menetap). Segala sesuatu mengalir seperti air (pantha rei). Orang tidak mungkin turun dua kali ke dalam sungai yang sama. Segalanya menjadi, tidak ada satupun yang menetap. Juga kosmos yang indah dan tertata baik ini pun selalu berada dalam arus gerakan yang tidak terputus.

Seperti dalam sistem filsafatnya Herakleitos yang menekankan perubahan, kita juga mendasarkan pemahaman hukum sebagai “hukum yang mengalir” pada pantha rei, yaitu segalanya mengalir. Model hukum seperti ini tentunya memiliki dasar pada realitas perubahan. manusia adalah salah satu bagian dari realitas, dan karena itu juga harus mengalir atau berubah. Karena hukum itu bahagian dari manusia maka hukum itu harus mengalir. Artinya hukum harus disesuaikan dengan perkembangan hidup manusia. Akan tetapi hal ini tidak bermaksud mengalienasi aspek yuridis hukum itu. Hukum tetap dipakai sebagai dasar untuk menangani suatu perkara, tetapi begitu aturan hukum itu tidak menjadi dasar yang memandai untuk menetapkan keadilan perkara, maka hukum itu harus ditingggalkan dan harus dilakukan usaha penemuan hukum baru.

Jadi, penekanan hukum mengalir disini dimaksudkan untuk menjawabi persoalan hukum yang sedang bergejolak di negara tercinta Indonesia ini, yang seringkali begitu ketat menerapkan asas kepastian hukum, sementara tanpa disadari telah merusak atau melalaikan aspek yang lebih fundamental dari hukum itu sendiri yaitu nilai keadilan. Hukum itu bukan suatu barang kaku, tetapi hukum itu sesuatu yang dinamis, karena dibuat oleh manusia yang adalah makhluk yang dinamis.

Aspek kepastian pada hukum cukup mendapat coraknya yang kokoh dalam realitas kebudayaan Indonesia. Akan tetapi perlu diingat bahwa penekanan pada aspek kepastian hukum tidak selamanya berciri adil. Dan inilah yang menjadi problem berhukum di negara kita. Karena itu pada posisi inilah kita bisa menerapkan suatu model hukum yang lebih adil. Dengan bertolak dari filsafat pantha rei-nya Herakleitos, kita mencoba mengkritisi paradigma penerapan hukum dalam tradisi bangsa kita, lalu mendekonstruksi hukum itu sebagai suatu proyek hukum yang mampu menjamin kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat.

Sesungguhnya ada identifikasi antara hukum dan keadilan. Hal ini yang ingin ditegaskan dalam memahami hukum sebagai sesuatu yang mengalir ialah bahwa hukum itu harus selalu dikontekskan dengan kebutuhan masyarakat. Apabila hukum itu tidak lagi menjawabi situasi masyarakat maka hukum itu harus ditinggalkan demi mencari hukum yang baru. Hukum harus fleksibel atau dinamis seperti manusia itu juga makhluk yang dinamis. Karena prinsipnya bahwa hukum itu harus adil. Ius quia iustum, hukum karena adil. Ini adalah aspek fundamental dari hukum itu sendiri.

 

DARAT PUSTAKA

Tjahjadi L. Simon Petrus, Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Djegalus, Norbertus, Hukum Kata Kerja, Jakarta: Obor, 2011.

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Wibowo, Setya, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2017.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.