Berharap Seroja Jadi Pendorong Kelahiran Kabupaten Adonara
Oleh: Frans Sarong
Nama Pulau Adonada sedang melambung tinggi. Pendongkraknya terakhir ini adalah keganasan badai siklon tropis seroja selama empat hari, sejak Kamis hingga Minggu (4/4/2021). Adonara di Kabupaten Flores Timur, tercatat dengan dampak paling parah dari banyak titik bencana di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Cermati rilis data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT per Senin (12/4/2021). Badai seroja yang melanda hampir merata di NTT, merenggut 179 korban jiwa dan 45 orang korban lainnya masih dinyatakan hilang. Dari jumlah itu, hampir separuh atau sebanyak 74 orang korban meninggal adalah warga Adonara. Tercatat pula satu korban di Adonara hingga Rabu (21/4) belum ditemukan.
Korban hilang di Adonara bernama Hendrikus Lere Herin, adalah warga Desa Oyangbarang di Kecamatan Wotan Ulumado. “Korban (Hendrikus Lere Herin) belum ditemukan. Keluarga sedang persiapkan ritual adat khusus untuk kelanjutan pencariannya,” jelas Marselus Sello Tukan (38), warga Desa Oyangbarang, Rabu (21/4/2021) pagi. Hendrikus Lere Herin adalah salah seorang tokoh masyarakat dan juga tokoh agama di Oyangbarang. Ia terakhir sebagai Ketua Dewan Stasi St Arnoldus Jansen Kawuko. Stasi adalah lembaga pelayanan jenjang bawah di lingkungan Gereja Katolik Roma.
Khusus di Adonara, terjangan badai seroja di Nelelamadike, Kecamatan Ile Boleng, dengan korban terbanyak. Di desa itu, korban meninggalnya sebanyak 56 orang, termasuk satu korban terakhir yang baru ditemuka pada hari ke-9, Selasa (13/4). Sebanyak 53 dari 56 korban meninggal itu dikuburkan secara massal di tepi jalan hilir kampung. Selain korban jiwa, badai berupa banjir dan tanah longsor di Nelelamadike menimpa sedikitnya 58 rumah. Dari jumlah itu, 30 rumah di antaranya hanyut terkubur longsoran, 28 lainnya rusak berat dan rusak ringan (KabarNTT.com, Selasa 20/4/2021).
Korban terbanyak berikutnya di Lembata. Di kabupaten ini korban meninggal sebanyak 46 orang dan 22 lainnya masih hilang. Titik terdampak paling parah terjadi di Amakaka, Kecamatan Ile Ape. Lima hari pascabencana itu, Nelelamadike (Adonara) dan juga Amakaka (Lembata) dikunjungi Presiden Joko Widodo, Jumat (9/4/2021).
Kehadiran Presiden Joko Widodo hingga titik terdampak paling parah mendapat apresiasi luas dari berbagai pihak di NTT. Salah satu di antaranya adalah Ketua DPRD Lembata, Peter Gero. Kata dia, kunjungan Presiden Jokowi itu tanda kuat kehadiran negara saat masyarakat dilanda duka. “Pak Jokowi adalah presiden yang sederhana, rendah hati dan responsif. Beliau mau ikut merasakan penderitaan masyarakat secara langsung di lokasi bencana,” tutur Peter Gero yang juga Sekretaris DPD Golkar Kabupaten Lembata.
Konflik berdarah
Sebenarnya, bukan hanya karena keganasan badai seroja yang mencuatkan nama Adonara. Pulau seluas 509 km2 itu sudah sejak lama dikenal luas, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Pemantiknya bukan kisah hebat yang menunjukkan keunggulannya. Selalu seputar kisah mencekam.
Pulau yang kini didukung 8 kecamatan, sejak lama sering hadir di ruang publik publikasi. Temanya hampir pasti sama, yakni konflik berdarah yang melibatkan sesamanya. Pemicunya pun nyaris tak pernah bergeser, selalu terkait sengketa tanah!
Bisa disebutkan beberapa contoh. Di antaranya, konflik perebutan tanah ulayat antara warga Desa Lewonara dan Desa Lewobunga di Kecamaatan Adonara Timur, awal Oktober 2012. Tidak ada korban jiwa dalam pertikaian itu, namun sekolah di sekitarnya terpaksa diliburkan karena situasinya begitu mencekam. Situasi itu hadir setelah massa dari Desa Lewonara menyerbu lalu membakar sejumlah rumah dan lumbung pangan milik warga Desa Lewobunga.
Awal Juli 2013, pecah pertikaian antara warga Desa Redon Tena versus warga Desa Adobala di Kecamatan Kelubagolit. Ketika itu, seorang warga Desa Redon Tena tewas, bagian leherya terputus akibat sabetan parang (Pos Kupang, 2/7/2013).
Lalu, pertikaian berdarah melibatkan warga Desa Wewit dan Warga Desa Nubalema 2 di Kecamatan Adonara Tengah, awal Juni 2019. Konflik itu merenggut satu korban meninggal, tiga korban luka dan lima rumah ludes terbakar.
Konflik paling mencekam terjadi di Sandosi, Kecamatan Witihama, awal Mei 2020. Dua kubu warga dari suku Lamatokan dan Suku Kwaelega terlibat konflik perebutan tanah kebun di Wulen Wata, mengakibatkan enam orang tewas (Antara, 6/3/2020).
Pertikaian paling akhir terjadi pertengahan Maret 2021 di Desa Kenotan, Kecamatan Adonara Timur. Tetap terkait tapal batas lahan kebun, konfliknya malah terjadi dalam lingkungan keluarga rapat. Pertikaian itu mengakibatkan satu orang mengalami luka terkena sabetan parang di bangian lengan. Tersangka pelakukanya kini sedang menjalani proses hukum di Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur.
Yang disebutkan hanya beberapa contoh konflik berdarah yang bersumber dari sengketa tanah. Sebagai catatan pendukung, simak misalnya catatan misionaris Katolik asal Belanda, Ernst Vatter melalui bukunya berjudul “Ata Kiwan” (Orang Pedalaman) yang terbit tahun 1932. Seperti diuraikan wartawan Laurens Molan melalui artikelnya berjudul “Adonara dan Sebuah Kisah perang Tanding”, Ernst Vatter bahkan sampai melukiskan Adonara sebagai Pulau Pembunuh (Antara, 20/11/2012).
Adonara menuju DOB
Keganasan badai seroja memang sudah lebih dua pekan berlalu, namun masih meninggalkan luka di Adonara dan juga titik lainnya di NTT. Berbagai pihak di Fores Timur (termasuk Adonara) berharap badai seroja menjadi pendorong melanjutkan perjuangan Adonara menjadi kabupaten atau daerah otonom baru (DOB). Mereka di antaranya Anggota DPRD Flotim, Yoseph Sani Betan dan Valentinus Sama Tukan yang adalah Wakil Bupati Flotim periode 2011 – 2016.
“Adonara sudah sangat layak menjadi kabupaten baru. Dari segala aspek terpenuhi untuk daerah otonom baru,” jelas Yoseph Sani Betan yang juga Ketua DPD Golkar Flotim di Larantuka, Minggu (18/4/2021). “Tentang perjuangan Adonara menjadi kabupaten, sebenarnya sudah bergulir sejak lama. Sayangnya, hingga sekarang belum terwujud,” sambung Valentinus Sama Tukan.
Mengitup berbagai sumber, perjuangan Adonara hingga Desember 2014 sebenarnya tinggal selangkah lagi menjadi kabupaten. Valentinus Sama Tukan termasuk salah seorang tokoh ring dalam terkait perjuangan itu karena dirinya ketika sebagai Wakil Bupati Flotim mendampingi Yoseph Lagadoni Herin sebagai bupatinya. “Yang saya tahu, Komisi II DPR ketika itu sempat menggelar rapat khusus membahas RUU (Rancangan Undang Undang) Pembentukan Kabupaten Adonara. Namun prosesnya terpaksa dihentikan menyusul kebijakan moratorium atau penghentian sementara pemekaran daerah otonom baru,” jelas Valentinus Sama Tukan.
Kini – terutama menyusul terjangan badai seroja – aspirasi yang berharap Adonara menjadi kabuapten baru, kembali menggeliat. Salah satu alasannya bercermin dari upaya penanggulangan bencana yang menghadapi tantangan berat. Kendala utamanya adalah karena Adonara masih terisolasi yang diperparah terjangan badai. Akibatnya berbagai upaya bantuan sejak taraf penanggulan darurat sulit dikerahkan secara cepat hingga lokasi bencana. Selama dua tiga hari pascabadai, pencarian korban yang diduga tertimbun longsoran, hanya dilakukan secara manual karena alat berat kesulitan tembus hingga lokasi. Koordinasi penanggulangan dari Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur di daratan Flores, menjadi tidak mudah ketika arus laut masih mengganas. Jika Adonara berstatus DOB, titik pelayanan pun menjadi lebih dekat, dan tentu saja sekalian meretas keterisolasian yang dialami sejak lama.
Apalagi Adonara dinilai sudah sangat layak menjadi kabupaten baru. Meliputi delapan kecamatan dan 119 desa/kelurahan, Adonara kini berpenduduk sekitar 125.000 jiwa. Jumlah itu hampir separuh penduduk Flotim yang berjumlah 297.599 jiwa (2020).
Badai seroja – hingga Rabu (21/4/2021) – sudah lebih dua pekan berlalu. Momentumnya tentu saja masih lengket. Termasuk kendala keterisolasian yang menghambat penanganan bencana, masih segar dalam ingatan publik. Semoga tantangan itu menjadi pendorong menghidupkan kembali langkah perjuangan Adonara menjadi kabupaten atau daerah otonom baru. Status daerah otonom yang dipastikan lebih mendekatkan pelayanan, diharapkan pula sekalian mengikis julukan Adonara sebagai Island Hiller atau Pulau Pembunuh, sebagaimana pernah dilukiskan misionaris Katolik, Ernst Vatter.