TRANSFORMASI KOSMOLOGI ILMIAH MENUJU KOSMOLOGI HOLISTIK
Oleh : Yeremias Arimatea Tnomel
Hidup manusia bergantung pada alam. Sandang, pangan, papan dan pernapasan disuplai oleh alam sehingga darinya manusia dapat mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Maka dapat dikatakan bahwa manusia dan alam tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi pandangan Rene Descartes: cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), yang memisahkan hubungan antara roh dan materi (paradigma cartesian) sehingga pada akhirnya mengindoktrinasi paradigma masyarakat untuk memandang manusia dan alam secara terpisah. Paradigma Cartesian ini terus dikembangkan menjadi paradigma kosmologi mekanikal ilmiah yang memandang alam sebagai proses mekanis yang terpisah-pisah. Kosmologi mekanikal ilmiah lebih memberi penekanan pada pemikiran secara rasional dan membawa pada sikap anti-ekologis. Keterpisahan antara manusia dan alam ini menimbulkan pemahaman bahwa manusia memiliki otoritas penuh terhadap alam yang memicu terjadinya pengeksploitasian alam demi kepentingan segelintir kehidupan manusia.
Kosmologi mekanikal ilmiah sangat mempengaruhi kehidupan manusia modern. Manusia modern menjadi manusia yang merusak ekologi. Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa manusia modern melihat alam semesta hanya dari sisi manfaat ekonomis. Cara manusia modern mendekati alam itu bersifat teknorat yakni menempatkan alam sebagai obyek yang harus dikuasai dan diambil manfaatnya.[ Sama halnya dengan Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya yang pertama ia memberi peringatan bahwa manusia tampaknya sering “tidak melihat makna lain dari lingkungan alam selain apa yang berguna untuk segera dipakai dan dikonsumsi”. Di sini pusat perhatian dari seluruh proses pembangunan yang dilakukan manusia modern diarahkan untuk menambah poin dan koin kesejahteraan produksi. Laju pertambahan pendudukan yang tinggi dapat berimplikasi kepada kebutuhan terhadap alam yang juga meningkat. Alam dengan segala kekayaan dan keanekaragamannya dipandang sebagai objek materi yang digunakan sepenuhnya atas nama kesejahteraan manusia. Alam bukan lagi
dipandang sebagai komunitas (community), tetapi sebagai komoditas (commodity) yang bernilai ekonomi. Alam tidak lagi ditempatkan sebagai subjek melainkan objek untuk pemenuhan kepentingan diri. Motif utama penggerak manusia modern dalam bertindak atau berperilaku ialah kepentingan diri-aku. Dengan ciri keterpusatan pada diri (self-centredness), manusia modern merasa sebagai mahluk yang rasional lalu menempatkan dirinya dalam posisi superior dan alam ditempatkan pada posisi inferior. Demi memuaskan hasrat memiliki dan menikmati, manusia mulai mengeksploitasi sumber daya alam. Hal ini dapat ditemukan di lingkungan sekitar bahwasanya daerah-daerah hijau dibabat habis guna membangun gedung-gedung berkaca dan pengeboran terhadap bumi untuk dieksploitasi mineral-mineral di dalamnya.
Pada satu sisi, kosmologi mekanikal ilmiah berusaha mengkonstruksi hidup manusia guna mencapai titik kesempurnaan. Akan tetapi di sisi lain, kosmologi mekanikal ilmiah menimbulkan destruksi pada hidup manusia karena pengeksplotasian terhadap alam secara tidak bertanggung jawab demi memuaskan hasrat manusia modern. Hal ini mampu mengganggu keseimbangan pada ekosistem yakni kualitas lingkungan alam akan menurun yang dibarengi dengan permasalahan kesehatan bahkan sosial ekonomi bagi setiap individu. Dampak-dampak negatif yang dapat ditemukan sebagai akibat dari bencana ekosistem seperti minimnya persediaan air bersih karena pembuangan limbah cair pabrik yang tidak bertanggung jawab dan juga minimnya udara bersih karena asap pabrik-pabrik serta alat-alat transportasi. Polusi udara dan polusi air mengancam makanan, minuman bahkan sebagian besar sisten ekosistem dan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan pada manusia, penurunan populasi pada tumbuhan-tumbuhan dan hewan-hewan.
Bertolak dari realitas tersebut, maka terbentuk suatu paradigma baru yakni kosmologi holistik yang mampu mengatasi kerusakan ekosistem dengan penekanan pada nilai-nilai tradisional. Kosmologi holistik terinsprasi dari tradisi-tradisi Timur. Pemikiran kosmologi holistik didasarkan pada pemikiran-pemikiran Timur tentang Hinduisme, Budhisme, pemikiran Cina, Taoisme dan Zen.
Terdapat beragam tradisi Timur yang memposisikan alam sebagai penunjang bagi kehidupan manusia. Tradisi itu antara lain penyembahan (penghormatan) terhadap air, pohon, batu dan lain sebagainya. Tradisi-tradisi ini memberikan kepada alam sifat kesakralan karena menjadi tempat berdiamnya para dewa dan dewi sehingga alam dipandang sebagai manifestasi
dari Tuhan. Hal ini membawa dampak positif terhadap hubungan antara manusia dan alam yang mana alam tidak dipandang sebagai objek yang harus dikuasai melainkan subjek yang harus dihargai dan dihormati. Tradisi-tradisi semacam ini menciptakan keselaran dalam ekosistem. Tradisi-tradisi secara jelas dihidupi dalam mitologi-mitologi hinduisme. Tema dasar yang kerap dijumpai dalam mitologi Hindu adalah tentang penciptaan alam semesta melalui pengorbanan diri Tuhan. Pengorbanan dalam makna aslinya berarti menjadikan sakral. Ketika Tuhan menjadi dunia dan akhirnya menjadi Tuhan kembali. Aktivitas penciptaan ilahiah disebut lila, pertunjukan ilahiah dan dunia dipandang sebagai panggung pertunjukan ilahiah.
Selain mitologi yang dikembangkan dalam hinduisme terdapat pemikiran lain mengenai alam yang datang dari pemikiran Cina. Menurut Capra, para pemikir Cina seperti bangsa India percaya ada realitas pokok yang melandasi dan menyatukan kemajemukan benda dan peristiwa yang kita amati: “terdapat tiga kata, lengkap, serba meliputi, keseluruhan. Nama-nama ini berbeda namun realitas yang dicari di dalamnya adalah sama, yaitu mengacu pada yang satu.” Mereka menyebut realitas ini Tao, yang semula berarti jalan. Ia adalah jalan atau proses dari alam semesta, tatanan alam semesta. Pada masa selanjutnya, orang-orang Confucianis memberinya sebuah penafsiran yang berbeda. Mereka berbicara tentang Tao manusia atau Tao masyarakat dan memahaminya sebagai jalan hidup yang benar dalam pengertian moral. Pemikiran Capra tentang Tao ini kemudian menjadi sebuah kritikan bagi paradigma Cartesian yang berorientasi hanya pada rasionalisme dan pengeksploitasian alam.
Beberapa tradisi-tradisi Timur yang diuraikan di atas memberikan pemahaman baru bahwa nilai-nilai tradisional dalam kebudayaan mampu memberikan keseimbangan pada ekosistem. Ekosistem akan menjadi seimbang sebagaimana yang diutarakan dalam tradisi-tradsi Timur apabila rasionalitas tidak mendominasi seluruh hidup manusia tetapi juga harus dibarengi dengan sakralitas (nilai spiritual) alam yang dilupakan dalam paradigma Cartesian.
Berbeda dengan kosmologi mekanikal ilmiah terutama dalam fisika klasik yang membagi dunia menjadi objek dan peristiwa yang terpisah. Karena itu, dalam modernisasi ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang memungkinkan terjadinya eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab maka kosmologi holistik adalah paradigma yang dapat digunakan untuk mencegah ketidakseimbangan dalam ekosistem dengan potensinya pada kehancuran manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Suseno, Franz Magnis, Etika Sosial, (Jakarta: Gramedia,1991)
Capra, Fritjof, 2000, The Tao of Physics; Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mitisisme Timur, terj. Jalasutra, (Yogyakarta: Jalasutra, 2000)
Ensiklik Redemptor Hominis (Penebus Manusia; 4 Maret 1979), 15: AAS 71 (1979), 287; Laudato Si, no. 5