Anggota DPRD Sarai, Didimus M. Djami Minta Pemerintah Pusat Stop Impor Garam, Kembali Tingkatkan Produksi Garam Dalam Negeri

Menia, MITC – Anggota DPRD Kabupaten Sabu Raijua (Sarai) asal Partai Golkar yang juga Ketua Komisi II DPRD Sarai, Didimus M. Djami kepada mediaindonesiatimur.com menyampaikan sangat menyayangkan kebijakan Pemerintah Pusat yang terus mengimpor garam, dampaknya adalah kita yang di daerah yang habis. Produksi garam lokal seperti Nataga pasti tidak laku, dan ujung-ujungnya pasti colaps,” ujarnya

Pabrik garam Nataga ini sebenarnya merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) Sarai, dan Kabupaten Sarai sendiri merupakan salah satu daerah potensial untuk mencukupi kebutuhan garam Nasional jika kebijakan Pemerintah Pusat berpihak kepada produksi dalam Negeri,” ungkap Djami

Kami berharap 2021 ini, Pemerintah Pusat secara bertahap mengurangi impor dan kembali mendorong produksi garam dalam Negeri, karena kita ini kan Negara maritim, masa Negara yang lebih banyak dikelilingi laut, garamnya impor,” ujar Djami

Diberitakan akhir 2020, Pemerintah Pusat kembali mengambil kebijakan untuk melakukan impor garam untuk memenuhi kebutuhan garam Nasional. Konon katanya, kebijakan tersebut berangkat dari kebutuhan garam sebagai bahan baku bagi sektor manufaktur yang diproyeksikan akan terus meningkat setiap tahunnya, kebutuhan garam pada 2020 lalu diberitakan mencapai 4,4 juta ton dengan 84% dari angka tersebut merupakan kebutuhan industri manufaktur, ditambah adanya pertumbuhan industri eksisting 5-7% serta penambahan industri baru.

Kebijakan ini dianggap bisa mematikan usaha tambak garam diberbagai daerah di Indonesia. Salah satu contoh, pabrik garam Nataga milik Pemerintah Daerah Kabupaten Sabu Raijua (Sarai) Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sedikitnya 20.000 ton garam Sarai, belum laku terjual. Garam yang dihasilkan dari tambak-tambak rakyat itu menumpuk di gudang-gudang yang menyebar di 107 titik penampungan. Hingga tahun 2018, garam industri di Sarai dihargai 1.200 – 1.500 rupiah per kg. Belakangan harganya terus merosot dan saat ini syukur-syukur bisa terjual dengan harga 500 rupiah per kg.

Usaha garam rakyat di Sarai meluas sejak 2015, di atas lahan tambak seluas 102 ha. Total produksinya mencapai 2.000 ton per bulan.

Disinyalir, garam industri di Sarai ini, menjadi menumpuk setelah tidak laku terjual karena dua penyebab, pertama, karena Pemerintah Pusat kembali menerapkan kebijakan impor garam sejak tahun 2018. Akibatnya garam Nataga tidak laku terjual. Kedua, Kondisi ini diperparah oleh serangan pademi Covid-19, yang membuat kapal-kapal pengangkut garam berhenti beroperasi.

Penulis : Alberto Tatibun

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.