Kampanye Stunting di Kota Kupang, Melki Laka Lena Sorot Data SSGI

KUPANG, MITC – Stunting menjadi permasalahan bangsa Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk itu dalam kegiatan percepatan penurunan stunting salah salah satu konsentrasi yang harus dilakukan adalah mencegah jangan sampai ada keluarga beresiko stunting. Untuk itu intervensi dilakukan tidak hanya pada saat orang sudah berkeluarga tapi sebelum laki – laki dan perempuan menjalin hidup berumah tangga atau calon pengantin.

Demikian disampaikan Koordinator Bidang Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Mikhael Yance Galmin saat melakukan kegiatan Kampanye Percepatan Penurunan Stunting bersama Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena di Aula Kapela Stasi St. Fransiskus Xaverius Naimata, Kota Kupang, Sabtu, 10/12/2022.

Yance menegaskan perlu ada intervensi dan edukasi bagi keluarga beresiko stunting atau calon pengantin.

“BBKBN ditugaskan untuk melakukan intervensi kepada calon pengantin yang di dalamnya tidak hanya edukasi tapi screan kesehatan. Nanti akan dilihat hb-nya seperti apa, lingkar lengan atasnya seperti apa dan seterusnya. Kalau seandainya itu masih di kondisi yang belum normal, itu butuh edukasi dan pendampingan supaya nanti ketika menikah saat melaksanakan kehamilan anak pertama betul – betul pada kondisi yang ideal untuk hamil dan melahirkan. Sehingga pencegahan stunting harus dimulai dari situ,” jelas Yance.

Stunting, menurut Yance, sebenarnya bukan suatu penyakit tapi suatu kondisi gagal tumbuh karena kurangnya pola pengasuhan yang baik.

“Stunting itu disebabkan karena pengasuhan. Pola asuh, pola hidup, pola konsumsi. Dan biasanya itu sudah mendarah daging bahkan sudah menjadi kebiasaan dan budaya. Sehingga walaupun banyaknya instansi, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat yang menyampaikan pola pengasuhan yang benar namun tidak diterima dengan benar oleh keluarga yang ada anak stunting atau keluarga yang bekategori berresiko stunting maka itu sia – sia,” tegasnya.

Sementara Sekretaris Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Kupang, dr. Marsiana Halek mengatakan penanganan stunting menjadi penting karena berkaitan dengan mempersiapakan generasi penerus bangsa.
“Penanganan stunting menjadi penting karena kita memperbaiki generasi penerus bangsa. Tantangan bangsa kedepan semakin besar sehingga generasi penerus kita harus lebih baik. Level – level anak kita harus lebih bagus dari kita sekarang. Kota Kupang saat ini stunting sebanyak 21,5 persen atau sebanyak 5497 anak Kota Kupang stunting. Ini tanggung jawab kita semua bapa mama sebagai orang tua untuk bersama – sama menanggalungi stunting,” ajak Mantan Dirketur Rumah Sakit S.K. Lerik yang akrab disapa dr. Nini.

Sementara Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan kasus stunting di provinsi NTT berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) masih sangat tinggi sehingga semua pihak diharapkan secara serius melihat persoalan ini.
“Di Indonesia, NTT itu termasuk kategori provinsi yang paling tinggi tingkat stuntingnya. Secara persentasenya dibandingan dengan jumlah bayi yang lahir dengan jumlah anak stunting, NTT tertinggi. Data di SSGI itu kita di 38,7 persen. Ini yang saya kira kita mesti cukup serius melihat persoalan stunting dengan baik di NTT,” ajak Politisi Golkar yang akrab disapa Melki Laka Lena ini.

Terkait data stunting, Melki berharap data dari SSGI tidak dijadikan rujukan utama dalam melihat presentase stunting di suatu wilayah karena banyak yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Menurutnya kalau data SSGI ini dijadikan rujukan utama kemungkinan besar NTT tidak akan tercermin.

“Kemarin pak gubernur telpon saya meminta data – data SSGI jangan dipakai sebagai ukuran yang paling utama dalam penentuan presentase stunting di NTT. Karena begini, saya temukan di lapangan, data SSGI ini, data survey. Ia tidak mencerminkan kondisi aktual di lapangan. Saya beberapa kali ke puskesmas di Kota Kupang ini menemukan bahwa misalnya data SSGI ini 300 orang di suatu daerah, data rillnya tidak sampe 150 orang. 150 lainnya tidak ketemu dilapangan. Di cek di RT, RW, Kelurahan tentang bayi baru lahir, tidak nyambung dengan data SSGI,” jelasnya. (*tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.