Sorgum Cocok dengan Agroklimat NTT, Potensial Dikembangkan
Kupang, MITC – Tanaman sorgum sangat cocok dikembangkan di NTT. Dari aspek agroklimat dan sosial budaya, sorgum sangat potensial dikembangkan secara luas hingga menjadi komoditi andalan NTT.
Pandangan ini diungkap pakar pertanian dari Fakultas Pertanian (Faperta) Undana Kupang, Dr. Ir. Leta Rafael Levis, M.Nur, Mnt, kepada media, Jumat (19/8/2022).
Rafael Levis mengemukakan pandangannya itu menyusul Presiden Joko Widodo memutuskan sorgum menjadi alternatif pengganti gandum yang selama ini diimpor dari Ukraina.
Sejak negara itu bergejolak dengan Rusia, pasokan gandum ke tanah air terhambat. Salah satu solusi yang diambil adalah mengembangkan sorgum di sejumlah wilayah di Indonesia.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu wilayah sasaran yang bakal dijadikan sentral pengembangan sorgum. Pasalnya, dari aspek agroklimat atau keadaan iklim yang berkaitan dengan pengembangan tanaman pangan, serta aspek sosial budaya, komoditi sorgum sangat tepat dengan alam NTT.
“Kita lihat sejarah. Dulu kita di kampung tanaman sorgum dari segi kondisi sangat sesuai dengan NTT. Baik dari segi agroklimat maupun segi sosial budaya. Dari segi agrokilmat, iklim, tanah dan segala macam sangat cocok dengan sorgum. Terbukti sekarang pengembangan sorgum lebih banyak berhasil dan suskes. Berikutnya, dari segi sosil budaya, soal perilaku masyarakat NTT. Masyarakat kita sudah menganggap sorgum sebagai komoditi yang penting sehingga kita bisa kembangkan dan mengonsumsinya,” urai Rafael Levis.
Rafael Levis menjelaskan, dalam mengembangkan sebuah komoditi ada dua aspek pokok yang menjadi perhatian, yaitu agroklimat dan sosial budaya.
“Banyak tanaman yang cocok dari aspek agroklimatnya tetapi tidak pas dengan sosial budaya. Sehingga banyak juga tanaman yang tidak berhasil dikembangkan. Dan NTT, untuk sorgum dua aspek ini cocok. Baik agroklimat maupun sosial budaya, masuk,” sebutnya.
Meski demikian, Rafael Levis membeberkan sejumlah aspek yang menjadi kendala dalam upaya pemenuhan ketahanan pangan dewasa ini. Di antaranya pemanasan global yang berpengaruh pada prediksi musim yang menjadi tidak akurat. Karena, jenis tanaman tertentu akan tergerus akibat perubahan iklim.
Selain itu, perubahan iklim menyebabkan sumber air menjadi kurang. Hal lainnya adalah pandemi Covid-19 yang berdampak pada kegiatan ekonomi yang berakibat pada kurangnya produktivitas petani dan berpengaruh pada ketersediaan pangan.
“Juga soal perang Rusia dan Ukraina. Karena memang kita selama ini import gandum dari Ukraina cukup besar karena penduduk kita banyak dan konsumsi roti kita di Indonesia sangat tinggi. Bahan dasarnya gandum,” sebutnya.
Hal krusial lainnya di Indonesia, kata Rafael Levis, adalah soal alih fungsi lahan yang marak terjadi di mana-mana.
“Contoh di Oepoi, Kota Kupang. Sebelum ada Flobamora Mall di tahun 2004 area itu merupakan persawahan, tidak ada rumah. Sekarang rumah penuh. Juga di Mbai, Nagekeo, Lembor di Manggarai Barat dan persawahan lain di Flores. Sudah banyak sekali alih funsgi lahan dan itu angat mengancam ketahanan pangan kita. Juga di daerah lain di Indonesia seperti Kerawang yang dulu gudang beras, sekarang berdiri pabrik-pabrik. Juga jalan tol Jakarta-Surabaya itu berapa banyak lahan yang terkooptasi. Ini ancaman serius soal alih fungsi lahan,” sebutnya.
Ia menyarankan pemerintah agar segera membuka lahan baru yang masih tidur. “Saya pernah lakukan riset di tahun 2017 dan menyatakan bahwa 40 tahun lagi Indonesia kehilangan lahan produktif. Dan, hal hal krusial ini sangat risakn soal ketahanan pangan,” ujarnya.
Magister pertanian dari Australia ini mengatakan, di NTT saat ini pengembangan sorgum dengan tata kelola yang bagus dan sistematis hanya ada di Kabupaten Flores Timur oleh Ibu Maria Loretha. Sedangkan di daerah lain pemerintah mengatakan, sorgum itu penting tetapi perhatian dan dukungan dana untuk pengembangan sorgum hampir tidak ada.
“Betul bahwa Pak Presiden mau jadikan sorgum sebagai yang utama tetapi di mana anggaran pemerintah untuk pengembangan sorgum? Ini yang perlu jadi perhatian pemerintah. Dari dulu saya mengamati bahwa pemerintah bicara soal diversifikasi pangan non beras dengan pangan lokal, tetapi anggaran untuk itu hampir tidak ada. Untung saja petani kita sudah terbiasa menanam itu, tetapi yang direncanakan secara sistematis oleh pemerintah itu tidak ada,” jelasnya.
Setelah Presiden menetapkan NTT sebagai salah satu wilayah untuk pengembangan sorgum, kata , kata Rafael Levis, pemerintah daerah diharapkan segera melakukan perencanaan yang terfokus dan pemetaan lahan yang jelas.
“Di mana lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian khususnya sorgum? Kelemahan kita di NTT adalah lahan kita sporadis. Untuk mencari lahan dengan hamparan luas, memang ada tetapi agak susah. Mungkin di daratan Timor dan Sumba lebih banyak dibandingkan Flores. Maka dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk menata kembali lahan-lahan yang berpotensi untuk memproduksi pertanian, tetapi belum dimanfaatkan,” ujarnya.
Rafael Levis juga menyebut persoalan kepemilikan lahan di NTT yang sifatnya komunal, bukan individu. “Ini yang perlu dicarikan solusinya sehingga lahan bisa dimanfaatkan. Butuh kehadiran pemerintah untuk menyelesaikan sehingga lahan bisa dimanfaatkan,” katanya.
Rafael Levis mengakui banyak masyarakat NTT yang belum familiar dengan budi daya sorgum. Karena itu dibutuhkan pendidikan sejak usia dini untuk memperkenalkan tanaman yang sangat adaptif dengan kondisi NTT ini.
“Bahwa nenek moyang kita dulunya hidup dengan sorgum, dan itu sejarah yang tidak terbantahkan, sehingga generasi muda kita perlu diberi tahu. Kalau tidak maka ketika ada tantangan yang dihadapi mereka akan kesulitan. Padahal ada banyak solusi pangan alternatif di sekeliling kita,” katanya.
Doktor pertanian dari Universitas Brawijaya ini menyarankan agar perlu pelibatan petani milenial, sehingga ancaman krusial tentang ketersediaan pangan dan SDM petani bisa terjawab.
“Masalahnya, petani kita saat ini rata-rata usia 50-60 tahun ke atas. Orang muda belum terlalu masif terlibat di sektor pertanian. Sehingga perlu digalakkan bagaimana petani milenial. Kita di kampus sudah mulai bergerak dengan Merdeka Belajar, Kampus Merdeka. Kita di Faperta mengantar mahasiswa ke lokasi-lokasi pertanian selama satu semester sehingga di sana mereka akan tertarik dengan sektor pertanian kemudian mereka punya lahan dan bisa membuka usaha pertanian. Dan kami sudah arahkan agar mereka tidak boleh berharap pada PNS. Sektor pertanian adalah sektor yang sangat menjanjikan masa depan, dan dibutuhkan selama masih ada kehidupan di dunia,” katanya.
Rafael juga menjelaskan tentang kandungan dalam sorgum di antaranya karbohidrat, energi, dan mineral yang hampir sama dengan jagung.
Disebutkan, Fapet Undana sudah pernah membangun kerja sama dengan Pemda Flores Timur terkait penelitian dan pengembangan tanaman sorgum bersama Maria Loretha.
“Menurut saya prospek sorgum sangat besar di NTT. Dan kita berikan pemahaman ke mahasiswa bahwa sorgum sangat cocok di NTT. Kalau TJPS sudah bagus, namun sorgum ini yang belum ada penanganan secara sistimatis dan terencana sehingga peru didorong ke pemerintah agar tidak hanya fokus ke jagung tetapi juga sorgum,” sebut pimpinan Program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka Faperta Undana ini. (*tim/aat)