Pangkas Anggaran Stunting Yang Dikelola TP PKK, Ini Alasan DPRD NTT
Kupang, MITC – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT mempunyai alasan kuat dan pertimbangan serius memangkas anggaran penanganan stunting yang diajukan Tim Penggerak PKK NTT. Pernyataan Wakil Ketua DPRD NTT, Inche Sayuna, Sabtu (4/12/2021), ini menanggapi pernyataan Julie Laiskodat selaku ketua tim PKK yang memberikan pernyataan kepada media yang menjelaskan penyesalannya soal pemangkasan anggaran PKK untuk stunting oleh DPRD.
Sebelumnya untuk tahun anggaran 2022 Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) NTT mengusulkan anggaran Rp 150 miliar yang dikelola TP PKK NTT untuk program desa model. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan alasan, DPRD NTT memangkas dan mengalokasikan Rp 20 miliar.
Inche menegaskan, bahwa DPRD NTT bukan tidak mendukung penanganan stunting di NTT, termasuk juga yang ditangani TP PKK NTT. Sudah sejak tahun anggaran 2010 sampai 2021 DPRD NTT dan pemerintah provinsi mendukung percepatan pencegahan stunting di NTT.
“Namun, dalam evaluasi DPRD, Pemda NTT belum mencapai output (hasil) program sebagaimana ditetapkan dalam APBD karena ternyata terdapat permasalahan signifikan yang menghambat pencapaian program percepatan pencegahan stunting di NTT,” kata Inche.
Khusus untuk TP PKK sebagai salah satu organisasi yang dipercaya untuk menjadi mitra PMD, kata Inche, DPRD NTT telah memberikan anggaran selama dua tahun anggaran untuk program yang dirancang oleh PKK untuk mendukung pemberantasan stunting.
“Tahun anggaran 2022 kami mendiskusikan cukup serius soal usulan anggaran sebesar Rp 150 miliar yang diusulkan PMD untuk dikelola oleh PKK lewat program desa model,” kata Sekretaris Golkar NTT itu.
Menurut Inche ada sejumlah hal yang menjadi permasalahan serius. Pertama, ada temuan BPK berkenaan dengan pelaksanaan program yang dikelola oleh PKK, dan menurut informasi pemerintah yang disampaikan dalam rapat badan anggaran temuan itu belum selesai ditindaklanjuti.
Temuan-temuan itu, yakni Pemda NTT belum memiliki kebijakan mengenai pedoman pelaksanaan koordinasi perangkat daerah lintas sektor tingkat provinsi yang dilengkapi dengan tugas dan kewajiban, serta mekanisme kerja sama keterlibatan pihak lain (PKK).
Temuan lain, pemberian makanan tambahan (PMT) gagal karena tidak menggunakan data riil balita kurus. Temuan berikutnya, kelompok penerima manfaat dari kegiatan kawasan Rumah Pangan Lestari tidak tepat sasaran dan tidak di lokasi prioritas stunting.
Masalah kedua, sebut Inche, selain masih tersisa catatan temuan BPK yang harus ditindaklanjuti, dalam kunjungan DPRD ke beberapa kabupaten/kota yang disampaikan dalam laporan anggota DPRD bahwa ada sejumlah persoalan berkaitan dengan pelaksanaan desa model oleh PKK.
Ada tiga soal pelaksanaan desa model itu, yakni pertama, tidak fokus ke pemberantasan stunting; kedua, konsep pemberdayaan yang dibangun PKK terdapat sejumlah kegagalan di lapangan; ada boncengan muatan kepentingan yayasan tertentu di balik program desa model yang digagas PKK.
“Berangkat dari permasalahan tersebut, maka tahun anggaran 2022 kami hanya menganggarkan Rp 20 miliar kepada PKK tapi dengan catatan agar bisa menyelesaikan temuan BPK dan sekaligus membenahi catatan-catatan yang sudah disampaikan oleh DPRD,” katanya.
Sebagai wakil rakyat dari Fraksi Golkar, Inche meminta Pemda NTT supaya percepatan pencegahan stunting di wilayah Nusa Tenggara Timur perlu dilanjutkan dengan catatan memperbaiki berbagai permasalahan yang ada.
“Sebab dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan ketersediaan utilitas yang masih terbatas, stunting masih tetap mengancam kelompok prioritas yang mencakup ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak yang berusia 0-23 tahun,” kata Inche.
Inche melanjutkan, “Yang perlu diingat juga adalah ini kerja konvergensi sehingga dasar penyusunan program pencegahan dan penanganan stunting harus berbasis 1000 HPK dan semua pihak tidak boleh bersembunyi di balik tagline.”