Sang Wakil Tertawa, Tatkala Allah Menderita

Oleh : Florit P. Tae, S.Th (Alumni Fakultas Teologi UKAW)

Menertawakan Penderitaan adalah sesuatu yang bermakna paradoksal. Pada satu sisi, “tertawa” tatkala ada penderitaan menegaskan bahwa penderitaan tidak harus membuat kita rapuh dan sedih, sebab penderitaan hanya satu bagian dari kehidupan. Tetapi, pada sisi yang lain, tidak berlebihan jika tertawa saat penderitaan melanda itu merupakan sikap yang ceroboh dan aneh. Memang, tertawa menurut Hendri Bergson, Seorang Filsuf sekaligus psikolog Prancis adalah hal yang lumrah sebab, masyarakat secara tak sadar melatih seseorang untuk tertawa pada hal yang aneh, karena ini adalah sebuah aturan tak tertulis dari masyarakat. Namun, sebagaimana, Thomas Hobbes, yang juga seorang Filsuf Inggris berujar, “tawa muncul dari perasaan superioritas”. Dengan kata lain, Hobbes berpendapat bahwa pecahnya tawa seseorang itu diakibatkan dirinya merasa ‘lebih baik secara tiba-tiba’ dari orang lain. Dengan demikian, “Tertawa” bermakna paradoksal.

Mengawali tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini sebagai reaksi untuk menyikapi fenomena pesta pejabat dalam suasana kerapuhan masyarakat dan kemurungan dunia akibat Pandemi Covid-19. Disamping itu, Tulisan ini juga akan secara sederhana mengucapkan keyakinan penulis bahwa di tengah pandemi, Allah sedang menderita bersama masyarakat. Oleh karena itu, serentak menegaskan bahwa fenomena pesta pejabat merupakan sikap menertawakan Allah yang sedang Menderita bersama masyarakat yang rapuh di dalam dunia yang murung.

 Allah Turut Menderita dalam Penderitaan Masyarakat    

Pandemi Covid-19 menegaskan berbagai pekerjaan, bisnis, dan relasi sosial menghadapi risiko. Rasa takut mengintai masyarakat dan terus menurus setiap hari. Dalam masa pandemi ini, orang-orang mengkhawatirkan kondisi kesehatannya, baik fisik maupun psikis; kuatir atas keluarga dan kerabat, gelisah atas jejaring sosialnya, persediaan makanan, pekerjaan dan keamanan ekonominya, serta berbagai hal lainnya. Dalam kondisi yang mengguncangkan dan penuh ketidakpastian ini, sangatlah mudah bagi masyarakat untuk mengalami tekanan yang sangat serius. Banyak dari kita yang telah mengalami krisi, ada yang telah mengalami kehilangan orang tua, saudara dan sahabat dekat tanpa ritual yang layak. Karena itu, masyarakat mengalami kerapuhan yang amat dalam.

Kendati demikian, sebagai orang yang percaya pada Tuhan, masih punya harapan dan keyakinan bahwa ditengah kemurungan ini, Tuhan hadir dengan wajah yang berbeda melalui sesama, keluarga, pemerintah dan sebagainya untuk memberi harapan akan masa depan. Tuhan akan dan selalu hadir dalam penderitaan alam semesta. Sebab, manusia dan alam semesta merupakan ciptaan Allah yang mulia. Allah menciptakan manusia dan alam semesta sebagai realisasi dari cinta kasih Allah. Allah menciptakan seluruh ciptaan untuk membagikan cinta-Nya kepada sesuatu yang berada di luar diri-Nya. Karena itu, manusia dan alam semesta merupakan ciptaan yang berharga dan bertujuan untuk memuliakan Sang Penciptanya sebagai pemilik kehidupan.

Bertolak dari argumen diatas, maka sesungguhnya penderitaan manusia di tengah pandemi mengundang Allah untuk turut menderita. Sebab, Allah tidak pernah membiarkan manusia ada dalam kemurungan sendirian. Ia selalu hadir dalam kemurungan dunia dan kerapuhan manusia. Ditengah penderitaan bencana alam, bencana sosial dan pandemi Allah hadir dan bahkan turut serta dalam penderitaan manusia. Allah meratap bersama manusia yang sedang ada dalam ratapan, Sebagaimana ditegaskan N.T.Wright seorang Teolog Gereja Anglikan;

“Titik utama dari ratapan, yang dijalin sedemikian rupa ke dalam jalinan tradisi alkitabiah, bukan hanya merupakan sebuah jalan keluar bagi rasa frustrasi, kesedihan, kesepian, dan ketidakmampuan kita untuk memahami apa yang terjadi atau mengapa. Misteri cerita alkitabiah adalah bahwa Allah juga meratap”.

Dalam kerapuhan, kemurungan dan ratapan manusia, Allah meratap bersama. Sebab, Allah juga sedang mengalami penderitaan yang sedang di alami oleh CiptaanNya. Mengutip Kazoh Kitamori seorang Teolog Jepang, ia berujar bahwa penderitaan adalah hakekat Allah. Penderitaan ini adalah bagian dari keberadaan-Nya yang kekal. Allah turut menderita dengan penderitaan ciptaan-Nya. Justru karena kasih Allah yang besar bagi ciptaan-Nya maka, Ia menderita sebagai wujud dari cinta kasih Allah. Selanjutnya, Yeowangoe mengutip M.M. Thomas, menegaskan bahwa penderitaan Allah peratama-tama dan secara jelas kita jumpai di dalam penderitaan Kristus. Allah hadir di dalam penderitaan dan kesengsaraan Kristus. Karena itu, Kristus yang menderita tidak lain dari Allah yang menderita. Jadi, penderitaan Allah juga menunjukan wajah Allah yang simpatik terhadap ciptaan-Nya.

‘Sang Wakil’ Tertawa Melihat Penderitaan Allah

Dalam terang kitab Roma 13:1-7, Pemerintah merupakan Wakil Allah. Pemahaman ini sejalan dengan istilah latin yang kerap di kumandangkan yakni “Vox Populi vox Dei” yang berarti “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Dengan demikian, pemerintah yang dipilih oleh rakyat adalah pilihan Tuhan. Tuhan memilih Wakilnya sebagai hamba melalui masyarakat demi kepentingan Tuhan. Karena itu, Kekuasaan yang dimiliki pemerintah bukanlah kekuasaan tanpa batas. Kekuasaan itu terbatas baik dari segi waktu maupun ruang lingkupnya. Pemerintah ditetapkan oleh Allah bukan untuk salama- lamanya. Allah yang menetapkan atau mengangkat raja, bisa pula memecatnya ketika ia bertindak tidak sesuai dengan kehendak Allah (bca. Dan. 2:21),. Seorang pemimpin atau raja harus ingat bahwa Tuhanlah raja semesta alam, sedangkan raja-raja atau pemimpin-pemimpin yang lain hanyalah alat di tangan Tuhan. Itulah sebabnya sebagai contoh, mengapa Allah sangat marah dan menghukum Raja Asyur yang menyombongkan diri (bca. Yes 10:12). Raja Asyur lupa bahwa dia sebenarnya hanyalah alat. Bagaimana pun juga, seorang penguasa hanyalah alat di tangan Tuhan, yang sewaktu-waktu bisa mencabut ketetapan-Nya. Kekuasaan seorang penguasa bukan tanpa batas dan tidak dijamin selamanya. Tuhan yang mahakuasa sendiri menunjukkan bahwa kemahakuasaannya itu ada dalam “tahu batas”.

Jadi, pemerintah tidak memiliki otoritas yang tidak terbatas untuk melakukan apapun yang mereka inginkan tanpa kritik. Otoritas seseorang dapat dianggap sebagai ditetapkan oleh Allah sejauh orang itu tidak melanggar batas kekuasaannya, melampaui wewenangnya, atau menyalahgunakan kekuasaannya. Pemerintah seharusnya sangat bebas memiliki teknik atau strategi untuk mengelola kekuasaan demi keadilan dan kesejahteraan bersama. Saut Sirait berujar pemerintah memiliki wibawa politik untuk, “mewujudkan kedaulatan rakyat melalui pembuatan keputusan bagi kehidupan dan pencapaian cita-cita bersama.” Namun, dalam praktiknya wibawa politik cenderung untuk melayani penguasa dan kekuasaan sekelompok orang. Dengan demikian pelanggaran demi pelanggaran terus dilakukan oleh para penguasa.

Pemerintah yang berkuasa dapat kita pandang sebagai ditetapkan oleh Allah sejauh ia ada untuk kebaikan, melawan kejahatan, dan menegakkan keadilan dan kebenaran, serta berusaha selalu membuat hidup bawahannya damai sejahtera. Dia hanyalah alat di tangan Allah untuk membagikan kebaikan-Nya. Kuasanya terbatas. Karena itu, ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya, bertindak tidak tahu batas, ia kehilangan legitimasinya sebagai pemerintah yang ditetapkan Allah. Terhadap pemerintah seperti ini, kita tidak perlu tunduk dan takut untuk menunjukkan perlawanan berupa kritik dan sebagainya. Sebaliknya, kalau dia terus mengemban tugasnya dengan baik, kita harus takluk dan menghormatinya. Mengutip Roma 13:7, Sang Rasul dengan sorot mata yang tajam, nada suara yang melengkin berujar “Berilah rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima rasa hormat”. Pemerintah yang melanggar mandat Allah adalah pemerintah  yang berpotensi melahirkan penderitaan demi penderitaan. Kejahatan dan ketidakadilan merupakan penderita. Kejahatan tidak bisa dibiarkan untuk terus meraja lela karena kejahatan adalah sikap bungkam terhadap Allah yang mengasihi dan kejahatan juga merupakan sikap apatis terhadap kasih Allah yang di tunjukan di dalam penderitaan Yesus. Oleh karena itu, berbicara tentang penderitaan alam membutuhkan respon manusia untuk menemukan maksud Allah dalam penderitaan.

 Penutup

Allah yang diyakini oleh manusia dan seluruh alam semesta adalah Allah yang berbela rasa, penuh Cinta, bersolider dan bersimpatik dengan ciptaanNya. Itulah Hakekat Allah. Sebagai wujud cinta kasih, Allah hadir dalam penderitaan manusia. Hanya dengan keyakinan bahwa Allah turut menderita bersama manusia yang menderita, seorang manusia dapat berani berkata bahwa ia punya harapan akan masa depan. Namun, reprensentasi rangkulan tangan Allah dalam penderitaan dan kemurungan manusia dapat kita jumpai salah satunya melalui pemerintah sebagai sang wakil yang dipilih Allah untuk menjalankan tugas. Fungsi wakil Allah di dunia adalah merealisasikan cinta kasih Allah yang bersolider, Allah yang memberi harapan, Allah yang mewujudkan harapan. Jika tidak, maka wakil-wakil Allah yang dipercayakan Allah dapat dipastikan memberontak terhadap Allah. Salah satu wujud pemberotakan wakil-wakil Allah adalah berpesta tatkala masyarakat sedang direngkuh oleh kerapuhan dan kemurungan. Tindakan yang demikian adalah tindakan menertawakan Allah yang sedang turut menderita bersama masyarakat. Pemerintah yang demikian, maka tidak keliru jika dikritik bahkan dilawan. Suara-suara perlawanan terhadap kecongkakan bukanlah suara-suara kebencian, melainkan suara pengampunan dan seruan pertobatan, sebagaimana suara jeritan Yesus di atas Salib “Ya Bapa, Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.