Belajar Kepemimpinan dari Air

Oleh : Dionesius Manek

“Di mana ada air disitu ada kehidupan”. Sebuah ungkapan lazim yang mau menyatakan bahwa air merupakan sumber utama kehidupan. Air tidak membutuhkan manusia beserta makhluk lainnya. Tetapi manusia sangat bergantung kepada air. Bisa dibayangkan betapa ngerinya kehidupan ini tanpa air. Kita semua juga tahu akal hal itu dan betapa pentingnya manfaat air bagi bumi, rumah kita bersama beserta segala makhluk yang mendiaminya.

Dibalik kegunaan air, pernahkah kita memperhatikan bagaimana bentuk, cara mengalirnya air? Sepertinya membosankan jika harus memperhatikan hal tersebut. Bahkan membuang tenaga saja untuk melakukan hal itu yang tidak memberi faedah apa-apa. Ada hal yang lebih penting yang dapat dilakukan. Itulah realitas bahwa manusia kerap kali mengabaikan pelajaran kecil, sederhana dari alam. Maka, dalam tulisan ini saya akan menganalogikan kepemimpinan itu seperti air.  Masuk dalam keheningan, membayangkan dan menarik pelajaran kepemimpinan dari air.

Spekulasi Air sebagai Suatu Kekaguman

Di sini saya tidak membahas apakah air merupakan suatu topik permasalahan yang perlu diberbincangkan tetapi sebuah kekaguman atas keteraturan alam. Bahwasannya, air menjadi tahap awal yang memungkinkan manusia terlepas dari penindasan mitologi. Maksudnya, melalui air dan unsur lainnya dalam alam para filsuf yang dikenal sebagai filsuif-filsuf alam akhirnya memberikan sebuah jawaban yang tidak mitologis atas pertanyaan: Apakah yang merupakan prinsip dasar (arche) segala sesuatu? Dalam hal ini, pemikiran kefilsafatan diawali dari Yunani pertama-tama karena kekeguman para filsuf waktu itu tentang keteraturan alam, bukan tentang manusia. Mereka ingin menemukan “arche” (asas, prinsip) alam semesta; atas usahanya itu mereka kemudian dikenal sebagai “filsuf-filsuf alam”. Pada masa itu tentu para filsuf alam belum mengenal unsur dasar sebagaimana dikenal sekarang seperti hydrogen, oksigen, electron, neutron, dan lain-lain atau hukum alam gravitasi, gaya gerak, energy, dan lain-lain. Mereka hanya mengetahui sejauh ditemukan dan dihayati dalam hidup sehari-hari misalnya: air, api , udara dan tanah.

Perihal air, Thales (624-546 SM) yang digelari sebagai “filsuf pertama” mengatakan bahwa “arche” alam semesta adalah air. Air adalah prinsip awal. Semuanya berasal dari air dan semuanya kembali lagi menjadi air. Air adalah anasir yang menghidupkan dan memunculkan segala sesuatu. Berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri—jadi, tanpa sebab-sebab dari luar dirinya—air mampu tampil dalam segala bentuk. Ia bersifat mentap dan tak terbinasakan. Air adalah sumber kehidupan, tanpa air tak ada kehidupan. Alam semesta laksana sebuah pulau yang terapung di atas air. Ia mengira bahwa air adalah prinsip umum yang mendasari semua massa, persis sekarang kita mengatakann hal yang sama tentang electron, proton dan neutron, atau quark (salah satu perangkat hipotesis dari tiga partikel nuklir, masing-masing dengan beban listrik yang lebih kecil dari electron, dianggap sebagai kemungkinan unsur pokok dari semua partikel atom).

Walaupun pandangan tentang alam belum dianggap memuaskan, akan tetapi usaha keras Thales untuk mengungkapkan prinsip alam semesta dengan kemampuan rasio merupakan langkah besar revolusi pemikiran yang semula segala hal selalu dijelaskan secara mitologis.

Belajar Kepemimpinan dari Air

Usaha Thales untuk mengungkapkan prinsip alam semesta dengan mengatakan bahwa air adalah prinsip awal membuat saya berpikir bahwa Thales mungkin memiliki suatu kecintaan pada air. Ia melestarikan kehidupan air yang merupakan sumber segala kehidupan di bumi. Berangkat dari kekaguman ini, saya ingin merefleksikan secara filosofis air yang bukan sekedar memberi manfaat bagi rumah kita bersama, tetapi menyentil pertanyaan, apa yang dapat kita pelajari dari air. Pelajaran kehidupan dari air yang saya batasi ini adalah perihal kepemimpinan. Mengapa? karena dewasa terdapat fenomena hidup kerangka tanpa isi. Misalnya sekolah tanpa pendidikan, hubungan tanpa komitmen dan satu yang menarik adalah pemimpin tanpa kepemimpinan. Itu adalah gejala umum dalam masyakarat yang dampaknya sangat beragam.

Reza Wattimena, peniliti di bidang filsafat dalam satu tulisannya, membicarakan dengan tegas soal pemimpin tanpa kepemimpinan. Bahwasannya, kepemimpinan adalah isi utama dari pemimpin, termasuk nilai-nilai yang dimiliki di dalam membuat keputusan. Pemimpin tanpa kepemimpinan sama seperti sekolah tanpa pendidikan, itu tidak berguna, dan justru menghambat perkembangan. Seperti di Indonesia banyak terjadi terjadi kejadian di mana hadirnya sosok pemimpin tanpa kepemimpinan. Orang memegang jabatan tinggi di berbagai organisasi, baik itu pemerintah, bisnis ataupun institusi pendidikan tinggi, namun tak memiliki nilai-nilai kepemimpinan. Biasanya, mereka menduduki jabatan tinggi itu bukanlah karena prestasi yang baik, melainkan karena politik menjilat yang mereka lakukan dengan gencar kepada pemimpin sebelumnya.

Melihat fenomena tersebut, pertanyaanya, apa saja yang merupakan nilai-nilai dasar kepemimpinan. Ia melukiskan ada tiga hal medasar. Pertama, seorang pemimpin harus memiliki jiwa ksatria, yakni berani berkorban. Kedua, pemimpn sejati perlu memiliki dua hal, yakni visi panjang ke depan yang terumuskan secara baik dalam strategi jangka panjang, serta sikap pragmatis untuk mewujudkan visi tersebut secara nyata dan bertahap dala kerja sehari-hari. Ketiga, sikap ilmiah dasar yakni sikap kritis dan keberanian menguji ide-ide baru.

Oleh karenaitu, nilai-nilai dasar tentang kepemimpinan dapat dianalogikan dengan air.  Lalu pertanyaanya, apa yang bisa kita pelajari dari air?  Air adalah unsur terkuat di bumi. Ia mampu memadamkan apapun. Dalam jumlah yang cukup, panas bumi pun bisa dipadamkannya. Ia bersifat lembut, lentur namun amat perkasa. Ini sejalan dengan kebijaksanaan Timur Kuno. Kekuatan tertinggi tidak datang dari sikap garang atau marah, melainkan kelembutan seperti air. Sikap lembut berarti menerima apapun yang terjadi tanpa memilih. Dari keterbukaan total semacam itu, lahirlah rasa kasih sayang dan kebijaksanaan. Air melambangkan semua sikap itu. Maka, adalah masuk akal bagi untuk belajar dari air, terutama dalam soal kepemimpinan. Ada empat hal yang kiranya bisa dipelajari dari air.

Pertama, air selalu mengalir kebawah, ke tempat-tempat yang lebih rendah. Seseorang pemimpin perlu untuk merawat, melindungi orang-orang yang dibawah pimpinannya. Pemimpin tidak boleh menjabat semata demi menjilat kekuasaan yang ada. Ia memberikan dirinya untuk perkembangan orang-orang yang yang berada di bawah pimpinannya. Artinya pemimpin harus rendah hati mengusahakan kesejahteran orang-orang yang dipimpinnya.

Kedua, air tidak memaksa, melainkan mengikis pelan-pelan, supaya terbuka jalan. Seseorang pemimpin perlu sadar, bahwa perubahan adalah sebuah proses. Ia tidak boleh dilakukan terburu-buru, tanpa perencanaan yang matang. Mencitptakan prinsip protopia, proses kemajuan dalam kompleksitas hidup dan berusaha melampaui berbagai tantangan secara perlahan, namun pasti. Protopia, adalah kemajuan secara bertahap

Ketiga, air juga selalu mencari celah untuk bergerak, bahkan ketika celah itu tidak ada. Ini melambangkan sikap pantang menyerah. Seseorang pemimpin harus mencari cara baru, ketika cara lama lagi tidak cocok dengan keadaaan. Berinovasi, dan kreatif. Ini merupakan bagian dari memiliki sikap ilmiah dasar yakni memiliki sikap kritis dan menguji ide-ide baru.

Keempat, air siap menampung segalanya dan mengisi ruang-ruang kosong. Segala kotoran, racun, sampah apapun akan diterimanya, dan akan diolah menjadi lebih baik. Contoh nyatanya adalah laut. Ini berarti, seseorang pemimpin harus siap menampung permasalahan mengelolah masalah tersebut menjadi jalan keluar yang berguna bagi kemajuan bersama. Seseorang pemimpin perlu mendengar dengan jeli dan sabar, sama seperti laut menampung segalanya dengan sabar dan menolong orang yang dipimpinnya.

Dalam reealitas di negara kita Indonesia, kita begitu sering berjumpa dan menyaksikan dengan (yang mengaku) pemimpin, namun tidak peduli pada bawahan, suka bertinda semaunya, tanpa komunikasi, mudah menyerah, dan tidak mau menampung saran ataupun kritik. Betapa bosannya melihat semuanya itu. Mereka penyebab kemunduran kita di dalam berorganisasi, berbangsa, dan bernegara. Maka perlulah untuk mengubah semua itu.

 

Referensi

  1. Wattimena, R., Protopia Philosophia, Berfilsafar secara Konstektual, Yogyakarta: Kanisius, 2019.

Bertens, K., Sejarah filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 2018.

Petrus L. Tjajadi, Simon., Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Siswanto, Joko., Orientasi Kosmologi, Yogyakara: Gadja Mada University Press, 2005

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.