Sano Nggoang Menyibak Beda Pandang Rumah Ordo

Oleh: Frans Sarong 

Warga Manggarai Raya Diaspora

SANO NGGOANG. Sebenarnya hanya nama sebuah danau vulkanik berkandungan belerang tinggi. Tak ada ikan atau makluk hidup lain di sana. Hanya sesekali kawanan kepiting mucul. Juga, konon sekali dalam semusim menjadi persinggahan kawanan belibis dalam pengembaraan bermigrasi, entah ke mana (mongabay.co.id, 17/4/2020).  Letaknya di pedalaman pula. Persisnya di Desa Wae Sano, sekitar 40 km arah timur dari Labuan Bajo, kota Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Flores, NTT.

Mungkin jauh di luar sangkaan. Nama danau seluas 513 hektar  itu, belakangan menjadi pergunjingan seru bahkan polemik tajam di ruang publik. Nyaris tiada hari tanpa berita bertema Sano Nggoang atau Wae Sano. Arusnya begitu kencang menyerbu cakrawala. Bahkan juga sampai menyibak keberadaan ordo kebiaraan dalam “rumah” Gereja Keuskupan Ruteng (GKR), yang kini dipimpin Mgr Siprianus Hormat. Apa pasal?

Sano Nggoang ternyata diabadikan juga menjadi nama kecamatan  setempat. Danau dengan kedalaman sekitar 600 meter, memang sejak lama dikenal selalu menyuguhkan keteduhan dan kedamaian mendalam. Apakah bagi pengunjung atau siapa saja yang berada di sekitarnya. Maklum saja. Bentangannya – termasuk wilayah Desa Wae Sano – dalam kepungan kawasan hutan relatif terjaga. Sebut di antaranya Mbeliling, Golo Lua dan kawasan hutan Sesok. Seiring daya pikatnya yang menceriakan jiwa, menjadi alasan kuat (mantan) Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch Dulla menetapkan Wae Sano – termasuk Sano Nggoang – sebagai Desa Wisata. Pengukuhannya secara resmi melalui sebuah surat keputusan khusus bernomor: 237/Kep/HK/2020.

Mungkin genangan Sano Nggoang sedang memanas. Tandanya, konon selama tiga tahun terakhir kawanan kepiting tak pernah lagi muncul. Begitu pula kawanan belibis atau jenis unggas berparuh datar  (dendrocygna), tidak lagi menyinggahi Sano Nggoang, dalam pengembaraan migrasinya. Entah kebetulan atau memang benar adanya. Tanda tanda perubahan dengan rentang waktu sekitar tiga tahun itu sepertinya linear dengan polemik Sano Nggoang atau Wae Sano, yang mulau mencuat sejak tahun 2018.

Tidak hanya kawanan kepiting atau belibis yang menghilang. Tebaran pesona Sano Nggoang pun terasa menjadi iritasi mengusik hidung. Juga memendarkan cahaya kelabu yang – seperti telah disinggung – sekalian menyibak keberadaan ordo kebiaraan di lingkungan GKR, yang wilayah pengabdiannya meliputi tiga kabupaten di Manggarai Raya. Ordo kebiaraan yang dimaksud di sini adalah perserikatan atau tarekat religius kehidupan membiara di lingkungan Gereja Katolik Roma. Sejumlah contohnya seperti SVD, OFM, Jesuit, OSC, OFM Cap dan lainnya.

Bukan rahasia. Pemicu polemi, jelas. Bersumber dari proyek menjadikan kawasan sekitar Sano Nggoang di Wae Sano, sebagai sumber energi listrik tenaga panas bumi atau geothermal. Mengutip berbagai sumber, wacana proyek listrik panas bumi itu mulai menggulir sejak tahun 2017. Perusahaan penggarapnya, PT Sarana Multi Infrastruktur atau SMI. Perusahaan yang berstatus badan usaha milik negara di bawah Kementerian Keuangan, sejak awal gencar mendatangi lokasi. Pada awalnya mendapat respons hangat dari masyarakat Wae Sano. Termasuk warga tiga kampung: Nunang, Lempe dan Dasak, yang di sekitarnya bakal menjadi titik pemboran sumur-sumurnya.

Mengutip penelitian Sunspirit for Justice and Peace (mongabay.co.id, 17/4/2020), penduduk setempat pada awalnya memang tidak menolak. Alasannya karena melalui sosialisasi pihak PT SMI selalu meyakinkan bawa kehadiran proyek tidak mengganggu keberadaan kampung dan lahan kebun warga di sekitarya. Diyakini, sejak tahap eksplorasi hingga eksploitasi nantinya, tidak bakal mengganggu ruang hidup warga setempat. Simbol simbol situs budaya tetap dijaga kelestariannya. Begitu juga perkampungan tidak direlokasi.

Apalagi kehadiran sumber energi lintrik dari panas bumi Sano Nggoang di Wae Sano, sejatinya memang sangat ditunggu mendukung tekad Presiden Jokowi menjadikan Labuan Bajo sebagai kawasan destinasi super prioritas atau super premium. Keseriusan itu antara lain ditandai kehadiran badan khusus yan disebut Badan Pelaksana Otorita atau BPO Labuan Bajo Flores, sejak 2018.

Labuan Bajo adalah gerbang masuk Taman Nasional Komodo (TNK), yang meliputi tiga pulau sedang: Komodo, Rinca dan Padar. TNK dikenal sebagai obyek pelesiran yang sejak lama memikat pelancong dari berbagai pelosok dunia. Daya pikatnya adalah keberadaan kadal raksasa komodo. Kadal tersisa dari zaman purba itu bertahan dan berhabitat di ketiga pulau tersebut.

Sebagai gerbang masuk ke TNK, Labuan Bajo kini memang sedang gencar dibenahi. Yang dapat ditangkap mata, pembenahan kota itu mendapat sentuhan serius, setidaknya sejak dua tahun lalu. Bisa disebutkan sejumlah contohnya. Di antaranya, barisan tenda permanen di Kampung Ujung. Bangunan tenda  yang sejak beberapa tahun lalu menjadi titik idola kuliner ikan bakar, ditata ulang. Berbagai jenis proyek lain juga gencar melebarkan sekalian memuluskan jaringan jalannya. Sejumlah ruas jalan terutama menyusur pantai hingga Pantai Pede, bercadikkan trotoar apik. Berbagai jenis pohon sedang dalam proses tumbuh, sebagiannya mulai merimbuni tepi jalan. Terbanyak jenis pohon intervensi, yakni jenis pohon yang didatangkan dari Jawa atau daerah lainnya.

Begitu pula kisah serakan sampah yang sejak lama menjadi noda Labuan Bajo, secara perlahan menyingkir. Kesemuanya itu menyongsong mimpi Labuan Bajo menjadi destinasi pelancongan kelas atas dan bergengsi.

Mimpi itu tentu saja harus dengan dukungan utama energi listrik memadai. Sejauh ini, kebutuhan energi listrik Labuan Bajo hanya mengandalkan pasokan dari pembangkit listrik tenaga minyak dan gas atau PLTMG Rangko. Karena kapasistas dayanya masih terbatas, diperlukan energi dukungan dari proyek panas bumi Sano Nggoang atau Wae Sano.

Arus penolakan

Berbeda dengan respons awalnya, arus penolakan atas upaya pembangunan proyek panas bumi Sano Nggoang di Wae Sano, setidaknya mulai muncul sejak awal 2018. Konon perubahan sikap warga terjadi setelah mereka mendapat bocoran kalau kehadiran proyek energi listrik panas bumi itu antara lain akan merelokasi perkamungan. Juga akan menggerogoti sebagian lahan kebun petani di sekitar lokasi.

Bagi warga setempat, jika bocoran itu benar benar akan terwujud, maka berarti akan mengganggu ruang hidup mereka. Maksudnya adalah keseharian hidup warga sejak turun temurun tak terpisahkan dari rumah adat (mbaru gendang), perkampungan adat (beo bate labar), wadah sesajen (compang), sumber air (wae bate teku), lahan kebun (uma bate duat) dan simbol budaya lainnya.

Arus penolakan itu memicu polemik panjang dan bertensi tinggi. Ada kelompok pro dan juga kelompok kontra. Gereja Keuskupan Ruteng (GKR) dan sejumlah ordo kebiaraan di lingkungannya terpanggil ikut nimbrung mengupayakan titik temunya.  Sayangnya, rekomendasi dari “Mbaru Gendang” GKR, tidak padu. Sebagaimana gencar dipublikasikan, Uskup GKR, Mgr Siprinanus Hormat dengan rekomendasi menyetujui kehadiran proyek itu. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Mgr Siprianus bahkan sudah menyurati Presiden Jokowi agar melanjutkan proyek panas bumi Sano Nggoang atau Wae Sano (ekorantt, 11/6/2021).

Rekomendasi berbeda disampaikan oleh dua ordo kebiaraan di lingkungan GKR. Kedua ordo itu adalah SVD (Societas Verbi Divini) atau Serikat Sabda Allah dan OFM (Ordo Fratrum Minorum). Rekomendasi mereka setelah dikaji melalui lembaga khususnya bernama JPIC (Justice, Peace, Integrity of Creation).

Seperti disampaikan Ketua Divisi Advokasi JPIC SVD Ruteng, Hery Manto, pihaknya tetap konsisten menolak pembangunan proyek panas bumi Wae Sano atau Sano Nggoang (Pos Kota Bali.co.id, 7/4/2021). Penegasan senada sebelumnya disampaikan oleh direkturnya, Pater Simon Suban Tukan (floreseditorial.com, 9/3/2020).

Penolakan juga datang dari ordo kebiaraan OFM. Ketua JPIC OFM Flores, Pastor Johnny Dohut tegas meminta para pengambil kebijakan seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Pemda dan DPRD Mabar supaya menghentikan kelanjutan proyek panas bumi Wae Sano atau Sano Nggoang (auroraindo.co.id, 10/3/2020).

Pro-kontra atas proyek panas bumi Sano Nggoang atau Wae Sano – terutama beda rekomendasi antara GKR dan dua ordo kebiaraan terkait, tentu saja dengan berbagai pertimbangan. Namun terasa janggal ketika menjadi polemik di ruang publik.

Mungkin baik mengilustrasikan GKR sebagai “mbaru gendang”-nya Manggarai Raya, yang mayoritas warganya pemeluk Katolik. Jika demikian, maka pencarian titik temunya agar melalui pendekatan “lonto leok” di “mbaru gendang”. Sangat mungkin terjadi beda pendapat, tapi hanya sebatas dinamika saat “lonto leok” itu. Selanjutnya, ketika waktunya disampaikan kepada keluarga besar di luar (ruang publik), adalah sari titik temu dari kesepakatan “lonto leok”. Dengan begitu, sekalian menjaga keutuhan keluarga besar (umat) Manggarai Raya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.