Dr Rudi Rohi: Umumkan Bacagub secara Dini Indikasi Kerja Politik Terukur Golkar NTT
Kupang, MITC – Pengamat dari Fisipol Undana, Dr. Rudi Rohi mengatakan, langkah Partai Golkar NTT yang secara dini mengumumkan para bakal calon gubernur dan wakil gubernur pada pilgub 2024, harus diapresiasi sebagai sebagai sebuah kerja politik terukur dan konstruktif bagi demokrasi. Salah satunya bersentuhan dengan kaderisasi yang bertemali dengan kapasitas.
“Saya kira pewacanaan calon gubernur dan wakil gubernur atau kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sudah seharusnya dilakukan partai-partai politik sejak jauh-jauh hari, sebagaimana dilakukan Golkar NTT. Kenapa? Karena hal ini mengindikasikan suatu partai politik memiliki rencana dan kerja politik secara terukur dan konstruktif bagi demokrasi,” kata Rudi Rohi kepada Media Indonesia Timur.com atau MITC, Kamis (6/5/2021). Ia diminta komentarnya terkait langkah Golkar NTT yang secara resmi telah mengumumkan nama para balon Gubernur dan Wagub melalui rapat pleno lengkap secara virtual, Rabu (5/5/2021).
Rapat itu sendiri dipimpin oleh Ketua DPD Golkar NTT, Melki Laka Lena, dihadiri kalangan pengurus DPD 1 dan ketua-ketua bersama jajaran pengurus DPD 2 Golkar Kabupaten/Kota se-NTT. Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Golkar NTT, Frans Sarong, dalam rapat itu mengumumkan para balon pilgub 2024, dari internal Golkar. Mereka adalah Melki Laka Lena dan Joseph Nae Soi sebagai bacagub. Disampaikan pula sejumlah nama bacawagub. Mereka di antaranya, Inche Sayuna, Hugo Rehi Kalembu, Ans Takalapeta, Gabriel Manek, Jonas Salean, Sebastian Salang, Herman Hayon, Frans Sarong, Anwar Pua Geno, Maksi Adipati Pari, Libby Sinlaeloe, Umbu Lili Pekuali, Angel Dian Da Silva, Herru Dupe, Yance Sunur, Ossy Gandut dan Nita Blegur.
Politik bantuan
Menurut Rudi, adalah hal tidak terbantahkan kalau eksistensi partai politik di ruang elektoral adalah memenangkan kompetisi merebut kursi kekuasaan. Akan tetapi hal paling esensial adalah apa yang mesti dilakukan setelah parpol menenangi Pilgub atau Pilkada. “Setelah berhasil meraih kekuasaan, lalu apa?” gugat Rudi dalam nada tanya.
Mengutip pengamatannya, Rudi menyebutkan berbagai realitas adanya banyak parpol bersama koalisinya yang memenangi pilkada, namun justru tidak mampu berbuat maksimal sesuai program kerja dan janji-nanji kampanyenya. Yang terjadi adalah masifnya politik rente dan klientelisme. Akibatnya, kinerja kepala daerah lebih banyak terlihat sebagai membangun daerah secara fisik dan politik karitatif alias politik bantuan bahkan populisme dimana-mana. Padahal ini sesungguhnya adalah bungkus dari kepentingan akumulasi sumber daya dan konsolidasi jaringan klientelistik untuk keperluan elektoral selanjutnya atau bahkan ekonomi politik pribadi dan kelompok.
Oleh karena itu – lanjut Rudi – bahwa apa yang dilakukan Golkar justru sedang mencegah atau setidaknya mengantisipasi dan meminimalisir kemungkinan tersebut lewat penyiapan kader secara serius dan sejak dini. Ini menjadi bagian penting dari pembangunan demokrasi yang sesungguhnya.
Kendati nanti dengan mekanisme survey, pewacanaan Golkar secara dini membuka ruang dan kesempatan bagi kadaer-kader partai mempersiapkan kapasitas dan kapabilitas diri untuk berproses sebagai calon pemimpin. “Pewacanaan itu tidak sekadar memenuhi kebutuhan proseduralistik demokrasi. Akan tetapi lebih dari kapasitas untuk kebutuhan substansial demokrasi yakni kemampuan menyelesaikan persoalan publik dan menciptakan kesejahteraan bersama,” tegas Rudi.
Sesuai kaidah demokrasi
Ia menambahkan, pewacanaan para balon itu juga merupakan bagian dari pembangunan demokrasi yang dimulai dari dalam diri Golkar. Dengan begitu publik dapat melihat bahwa proses politik di dalam tubuh Golkar berjalan sesuai kaidah-kaidah demokrasi seperti kesempatan yang sama, kesetaraan, gender, kapasitas, kapabilitas, transparan, dan seterusnya. Dan yang lebih penting adalah kader Golkar yang nanti keluar sebagai calon atau kandidat benar-benar telah melewati proses pendewasaan politik yang menciptakan kapasitas, kapabilitas dan elektabilitas yang komplementer. Sederhananya elektabilitas terbentuk dari kapasitas dan kapabilitas politik. Bukan popularitas. Dengan begitu, publik tahu bahwa mereka akan memilih calon yang punya kemampuan dan bukan kucing dalam karung.
Selain itu, Rudi mensinyalir wacana pencalonan secara dini yang dilakukan Golkar NTT, juga dapat dibaca sebagai cara partai itu melakukan testing the water di satu sisi. Namun di lain sisi, sekaligus merekonfigurasi struktur politik elektoral hegemonik yang menguat di NTT. Golkar mencoba keluar dari konfigurasi hegemonik yang sempat mendikte partai-partai politik, masyarakat sipil maupun publik secara luas, termasuk Golkar yang kemudian kehilangan marwah politik akibat tidak memiliki navigasi politik sendiri. “Pewacanaan ini membawa Golkar kembali bermain dengan ritme dan navigasi politiknya sendiri.” tutup dosen Fisipol Undana ini.