Perempuan Harus Merdeka Sejak dalam Pikiran
Oleh: Tri Ombun Sitorus
Mahasiswi Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia
Selama berdekade-dekade lamanya, perempuan digambarkan secara timpang dalam masyarakat. Sebagai aktor sosial yang memainkan peran yang ditentukan oleh laki-laki melalui keinginan. Perempuan ibarat selalu dalam masquerade: selalu dengan representasi kepalsuan, penuh drama dan menggoda. Perempuan selalu memiliki citraan simbolis yang bukan dirinya. Tak salah kiranya kalau ada ungkapan, perempuan itu unik, dia bisa menjadi sosok ibu ataupun ayah disaat bersamaan. Sekalipun sering mendapat diskriminasi tapi yang namanya perempuan tetap saja tegar, walau terkadang, dia terlalu rapuh ketika seseorang menyentuh hatinya.
Banyak diskriminasi yang terjadi terhadap wanita, baik dalam keluarga, lingkungan pergaulan bahkan di dunia pekerjaan. Dalam dunia pekerjaan banyak terjadi ketimpangan gender, mulai dari fasilitas yang memadai contohnya tidak tersedianya hak-hak cuti bagi perempuan, dan tidak sedikit perusahaan yang menolak menerima perempuan dalam sebuah pekerjaan, karena banyak maunya. biaya produksi yang semakin tinggi karena harus menyediakan fasilitas khusus untuk perempuan yang sedang menyusui dan hak-hak perempuan lainnya. Padahal sudah jadi keniscayaan bahwa perempuan merupakan elemen penting serta strategis yang harus terlibat bagi pembangunan sumber daya manusia dengan membangun keadilan dan kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan gender bukan berarti semua hak yang didapatkan wanita didapatkan juga oleh pria, karena secara fisik dan hormon perempuan dan laki-laki itu sangat berbeda sehingga ada hak khusus yang hanya berlaku untuk perempuan agar menjadi adil. Stereotipe yang dibangun sejak dalam organisasi terkecil yaitu keluarga, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki ketimpangan bahkan dari segi hak dan kewajiban dalam keluarga. Kebiasaan yang sejak kecil sudah dibangun tersebut membuat perempuan itu sendiri terbiasa hidup dalam kungkungan budaya patriarki dan seolah-olah menerima setiap stigma yang sudah ada, bahkan tidak sedikit pula perempuan yang memanfaatkan stigma kelemahannya tersebut disaat-saat tertentu.
Berbicara soal kesetaraan gender sebenarnya harus dimulai dari perempuan itu sendiri, budaya patriaki yang hidup dan berkembang dalam pandangan masyarakat tentang perempuan adalah sebanyak apapun ilmu pengetahuan yang ia miliki, ia tidak akan pernah sampai pada posisi tertinggi dalam budaya.
Biar pun perempuan memiliki pengetahuan yang banyak, tetapi ia akan tetap dalam posisi no-knowledge atau knowledge-without-power. Budaya, stigmatisasi, domestikasi, dan kooptasi terhadap perempuan begitu jelas sejak dulu kala dan itulah yang membuat R.A. Kartini pada masa mudanya pun menembus budaya bahwa perempuan tidak harus memiliki pendidikan yang tinggi. Dengan kegigihannya dia memperjuangkan pendidikan dan keadilan bagi kaum perempuan. Korespondensi dan semangat belajarnya yang tak terbatas membuatnya semakin sadar akan ketimpangan sosial dan sistem patriarki yang menekan kaum wanita Indonesia dan sampai saat ini perjuangannya terus berlanjut melalui Kartini-kartini muda Indonesia masa kini.
Sebagai seorang perempuan yang hidup dalam era teknologi yang semakin maju, persaingan yang semakin ketat haruslah membuat perempuan itu mempunyai semangat juang yang semakin tinggi pula untuk menembus batasan-batasan tersebut. Perjuangan R.A. Kartini jangan hanya diperingati hanya setiap tanggal 21 April setiap tahunnya saja, tetapi perempuan itu sendirilah yang dapat mengubah hidupnya menjadi perempuan yang pintar, mandiri, tangguh dan merdeka.
Setiap perempuan harus men-support perjuangan perempuan lainnya untuk memperjuangkan kesetaraan, menembus batas harus dimulai dari diri sendiri, baik dalam keluarga, lingkungan kerja dan lain sebagainya, karena perempuan harus merdeka sejak dalam pikirannya sendiri, bukan pikiran orang lain. Selamat Hari Kartini untuk semua perempuan Indonesia. Berjuang melawan menembus batas